Selasa, 29 Maret 2016

Sungai yang Mendidih di Rimba Amazon Peru

Ada sungai misterius yang mengalir melalui kedalaman hutan hujan Amazon di Mayantuyacu, Peru, yang benar-benar bisa merebus hewan-hewan kecil hampir seketika. Sementara suhu air di sepanjang 6,4-km-rentang sungai  antara 50 dan 90 derajat Celsius, di beberapa bagian hampir mencapai titik didih 100 derajat. Itu cukup panas untuk menyebabkan luka bakar tingkat tiga dalam hitungan detik.



Orang-orang Asháninka setempat tahu tentang Sungai didih misterius selama berabad-abad, menyebutnya sebagai 'Shanay-timpishka', yang berarti 'direbus dengan panas matahari'. Legenda kuno mengatakan bahwa air panas itu disebabkan oleh ular raksasa bernama Yacumama (ibu dari air) dan sebuah batu besar berbentuk seperti kepala ular terletak di hulu sungai, seakan menjadi bukti legenda tersebut.

Bagi dunia luar, keanehan alam ini hanya itu - sebuah legenda. Selain dari beberapa referensi yang bertanggal kembali ke tahun 1930-an tidak ada dokumentasi ilmiah mengenai sungai mendidih ini dan para ahli geologi menyangsikan keberadaannya didasarkan pada kenyataan bahwa untuk mendidihkan bagian dari sungai akan dibutuhkan sejumlah besar panas bumi, yang tidak mungkin ada karena cekungan Amazon terletak 400 mil (645 km) jauhnya dari gunung berapi aktif terdekat. Kecuali beberapa wisatawan yang berkunjung Mayantuyacu setiap tahun untuk melakukan metode penyembuhan tradisional yang dilakukan oleh orang-orang Asháninka, dunia luar tidak menyadari bahwa keberadaan sungai yang mendidih di belantara Amazon ini nyata.


Keberadaan sungai secara resmi dikonfirmasi pada tahun 2011, ketika ilmuwan panas bumi Andrés Ruzo memutuskan untuk menyelidiki sendiri keberadaan sungai yang mendidih setelah mendengar banyak cerita dan legenda yang membuatnya cukup penasaran untuk berangkat mencari tubuh air mistik tersebut. Kakeknya telah mengatakan kepadanya bahwa Shanay-timpishka ditemukan oleh conquistador Spanyol ratusan tahun yang lalu, ketika mereka melakukan perjalanan jauh ke dalam hutan hujan untuk mencari emas. Mereka yang berhasil kembali berbicara hal-hal yang mengerikan di hutan yang menewaskan banyak teman mereka seperti ular pemakan manusia, penyakit, kelaparan, dan sungai didih yang aneh.

20 tahun setelah ia mendengar cerita ini, Ruzo menemukan seseorang yang mengaku telah melihat sungai langsung - yaitu bibinya sendiri. Saat makan malam bersama keluarga, ia mengatakan bahwa sungai semacam itu sepertinya tak akan ada di tengah rimba amazon, namun bibinya membantahnya dan mengatakan "Tapi Andres, sungai itu benar-benar ada, aku pernah berenang di sungai itu." Pada tahun 2011, dipandu oleh bibinya, ilmuwan muda itu akhirnya menemukan sungai itu, dan terkejut saat mengetahui bahwa air sungai memang hampir mencapai suhu didih.


Ruzo kemudian menulis buku tentang sungai unik ini dengan judul The Boiling River: Adventure and Discovery in the Amazon. "Rasanya seperti berada di sauna di dalam oven pemanggang roti," tulisnya dalam buku tersebut. "Mencelupkan tangan saya ke dalam sungai akan mengakibatkan luka bakar tingkat tiga dalam waktu kurang dari setengah detik. Jatuh ke sungai bisa dengan mudah membunuh saya."

Dia juga memberikan catatan rinci tentang hewan yang  jatuh ke sungai yang mendidih tersebut." Hal pertama yang terlihat adalah mata,"katanya. "Mata, tampaknya, terebus sangat cepat, berubah warna menjadi putih susu. Arus sungai membawa mereka. Mereka mencoba untuk berenang, tetapi daging mereka terebus pada tulang karena begitu panas. Jadi mereka kehilangan tenaga, sampai akhirnya mereka sampai ke titik di mana air panas masuk ke mulut mereka dan mereka termasak dari dalam ke luar. "


Bahkan, air sungai yang begitu panas membuat penduduk setempat secara rutin menggunakannya untuk menyeduh teh. Mereka juga percaya bahwa uap air sungai membuat khasiat obat dalam daun pohon Ranaco yang berada di dekat sungai jadi lebih dahsyat. Namun sejauh ini, belum ada yang mampu memecahkan misteri air sungai yang mendidih. Ruzo hanya dapat memberikan teori sementara - ia percaya bahwa air panas dapat mengalir dari zona sesar, atau celah-celah di bumi, memanaskan berbagai bagian dari sungai.


"Seperti darah yang mengalir melalui pembuluh darah arteri kita, demikian juga, Bumi memiliki air panas yang mengalir melalui celah-celah dan patahan," katanya saat acara TED Talk pada tahun 2014. "Saat arteri bumi ini muncul ke permukaan, kita akan mendapatkan manifestasi panas bumi: fumarol, mata air panas, dan dalam kasus ini, sungai yang mendidih." Ruzo juga tertarik untuk mengetahui tentang organisme extremophile yang telah berhasil bertahan dalam air panas, yang mungkin membantu para ilmuwan memahami bagaimana kehidupan berasal di planet bumi.


"Pada saat segala sesuatu tampak telah dipetakan, diukur, dan dipahami, sungai ini menantang apa yang kita pikir kita tahu," tambahnya. "Ini telah memaksa saya untuk mempertanyakan batas antara yang diketahui dan yang tidak diketahui, kuno dan modern, ilmiah dan spiritual. Ini adalah pengingat bahwa masih ada keajaiban besar yang menunggu untuk ditemukan. Apa yang menakjubkan adalah bahwa penduduk setempat selalu tahu tentang tempat ini, dan bahwa saya bukanlah orang luar pertama yang melihatnya. Ini hanya bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Mereka meminum airnya, mereka mengambil uap nya. Mereka memasak, mandi, cuci, bahkan membuat obat-obatan dengan air sungai yang mendidih itu."

Tujuan jangka pendek Ruzo adalah agar Sungai yang Mendidih itu dinyatakan sebagai monumen nasional Peru, dan melindungi serta melestarikan hutan sekitarnya. Ia percaya bahwa keajaiban alam tersebut terancam oleh penebangan liar, dan berharap bukunya akan membuka mata dunia pada ancaman ini. "Keajaiban alam ini tidak akan ada lagi disana kecuali kita melakukan sesuatu untuk melestarikannya," katanya. "Wilayah Sungai yang Mendidih tetap (untuk sebagian besar) liar dan perawan - dan kita berharap untuk tetap seperti itu."




Baca Juga:





Kamis, 24 Maret 2016

Foto Kepulauan Indonesia yang Menakjubkan dari ISS, NASA

Baru-baru ini seorang astronaut NASA yang sedang berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional (International Space Station/ISS) mengambil foto sebagian wajah kepulauan Indonesia yang sangat menakjubkan.




Kebetulan langit Indonesia sedang terbebas dari awan. Menggunakan lensa 50 mm kamera digital Nikon D4 dan menggunakan efek panorama, astronaut NASA dalam misi Expedition 45 memotret pemandangan Indonesia yang cukup cerah oleh sinar sang surya dengan sedikit aura gelap seperti warna asap di sejumlah area.

NASA menyatakan bahwa foto ini diambil dari jarak sekitar 1.600 kilometer pada 25 Oktober 2015 oleh kru Ekspedisi 45 di ISS yang dikomando oleh astronot Scott Kelly.

Astronot mengambil foto tersebut saat cuaca di Jawa dan wilayah lain di timurnya cerah, sementara Sumatera tengah dilanda bencana kebakaran hutan.



Wilayah paling terang yang memantulkan sinar Matahari adalah wilayah sekitar Surabaya. Dan juga bisa diamati sejumlah gunung berapi yang sedang mengeluarkan asap. Mereka adalah Lawu, Kelut, Semeru, Iyang-Argapura, Raung, dan Rinjani. Gunung-gunung itu menjadi tulang punggung kepulauan Indonesia yang terbentuk dari benturan antara lempeng Australia dan Asia.

Tim NASA menduga, luapan asap tersebut bisa berujung pada kebakaran. Hal ini kemudian dianggap penting untuk diamati karena gunung berapi tersebut berdiri di atas lapisan udara penuh asap.

Setiap hari para astronaut di antariksa mendapat pesan yang isinya berupa peringatan mengenai peristiwa dinamis seperti letusan gunung atau kebakaran, sehingga mereka diharapkan bisa melakukan observasi dari luar angkasa.


Baca Juga:



Rabu, 23 Maret 2016

Beda Antara Rafflesia dengan Bunga Bangkai

Ternyata masih banyak yang menganggap Bunga Bangkai dan Bunga Rafflesia adalah sejenis. Padahal keduanya merupakan bunga yang berbeda, baik bentuk maupun jenisnya!

Berikut adalah perbedaan dan fakta-fakta mengenai Bunga Bangkai (Amorphophallus titanum) dan Rafflesia


Padma raksasa rafflesia (R. arnoldii) gambar sebelah kiri dan bunga bangkai raksasa (A. titanum) di sebelah kanan sering tertukar dan dianggap jenis yang sama.


Baik Rafflesia maupun Amorphophallus adalah tumbuhan bunga, namun hubungan kekerabatan mereka jauh. Rafflesia arnoldii mempunyai bunga tunggal terbesar di dunia dari seluruh tumbuhan berbunga, setidaknya bila orang menilai dari beratnya. Amorphophallus titanum mempunyai perbungaan tak bercabang terbesardi dunia.




Rafflesia

1. Rafflesia Tidak Sama dengan Bunga Bangkai Raksasa
Rafflesia atau padma raksasa merupakan bunga yang dapat mengeluarkan bau busuk. Namun, umumnya masyarakat umum tertukar dan menyamakan antara rafflesia dengan bunga bangkai suweg raksasa (Amorphophallus titanum). Meskipun sama-sama berbau bangkai, jenis rafflesia (rafflesia spp) dan suweg merupakan dua jenis yang sama sekali berbeda.

Jika rafflesia bentuk bunganya melebar, maka suweg raksasa memiliki bunga yang tinggi memanjang. Jika rafflesia merupakan tumbuhan endoparasit, maka suweg adalah tumbuhan seutuhnya yang berkembang dari umbi.

Khusus untuk kesalahan ini sangat elementer di masyarakat umum, bahkan kesalahan ini juga ada dalam buku pelajaran IPA bagi siswa sekolah dasar.

2. Rafflesia Bukan Tumbuhan Pemakan Bangkai
Masih terdapat persepsi bahwa rafflesia adalah tumbuhan predator, atau tumbuhan yang hidup dari memangsa serangga. Pemikiran ini disalahartikan dengan pencampuradukan fakta antara rafflesia dan tumbuhan kantong semar (pitcher plant, nepenthes spp.).

Jika bau yang dikeluarkan oleh kantong semar adalah untuk memikat serangga agar terperangkap ke dalamnya, maka bau yang dikeluarkan oleh bunga rafflesia adalah untuk menarik lalat untuk melakukan penyerbukan antara benang sari dan putik. Menurut para ahli persentase pembuahan rafflesia sangat kecil, karena bunga jantan dan betina sangat jarang bisa mekar bersamaan dalam waktu yang sama.

Bunga rafflesia sendiri hanya berumur satu minggu (5-7 hari) setelah itu layu dan mati, sehingga tidak mungkin keberadaan bunga rafflesia adalah untuk memangsa serangga.

3. Rafflesia Tidak Tumbuh dan Berakar di Atas Tanah
Raflesia tidak tumbuh dan berakar di atas tanah, karena rafflesia merupakan jenis tumbuhan parasit yang menempel pada inangnya yaitu sejenis tumbuhan merambat (liana) tetrastigma (tetrastigma spp).

Rafflesia tidak memiliki daun sehingga tidak mampu berfotosintesa, juga tidak memiliki akar dan tangkai batang. Ketika inangnya mati, maka raflesia juga turut mati. Rafflesia menyerap unsur organik dan anorganik melalui haustorium atau sejenis akar dari jaringan inangnya.

Padma raffesia tidak tumbuh di atas permukaan tanah, tetapi menempel di batang inangnya. Dalam gambar bunga R. patma yang telah layu masih menempel di batang tetrastigma. 

4. Rafflesia Tidak Hanya Ada Satu Macam Jenis
Jenis rafflesia yang paling terkenal di dunia adalah R. arnoldii asal Bengkulu yang sering menghiasi berbagai macam poster maupun buku-buku ilmiah di seluruh dunia.

Namun jenis rafflesia tidak hanya terdiri dari satu jenis spesies saja. Diperkirakan di seluruh Asia Tenggara yang melingkupi Sumatera, semenanjung Malaya, Jawa, Borneo dan kepulauan Filipina terdapat sekitar 27 spesies rafflesia. Adapun 17 spesies diantaranya berada di Indonesia.

Jika bunga R. arnoldii dapat berkembang hingga diameter lebih dari 1 meter dan berat hingga 10 kg, jenis bunga rafflesia terkecil adalah R. manillana yang ada di kepulauan Filipina dengan diameter hanya sekitar 20 cm.

Rafflesia haselstii. Salah satu jenis bunga padma raksasa yang paling indah, rafflesia ini berwarna merah dan putih. 

5. Rafflesia Tidak Hanya Tumbuh di Satu Tipe Hutan
Habitat hidup rafflesia pun berbeda-beda, dari yang dapat hidup di hutan pantai seperti R. patma di CA Leuweung Sancang di Jawa Barat, R. zollingeriana di hutan dataran rendah TN Meru Betiri Jawa Timur hingga R. rochusenii yang tumbuh di ketinggian 1.000-1.500 m dpl di lereng Gunung Salak dan Gunung Gede di Jawa Barat.

Selama pada habitat tersebut tumbuh inang rafflesia yaitu liana tetrastigma (famili Vitaceae) terdapat kemungkinan rafflesia dapat dijumpai di situ.

Selain keberadaan inang, faktor kecocokan klimat, seperti kelembaban merupakan faktor penting tumbuhnya rafflesia. Beberapa peneliti menduga musang dan beberapa serangga tertentu turut dalam menyebarluaskan biji parasit rafflesia.

6. Sir Stamford Raffles Bukanlah Penemu Rafflesia
Meskipun secara ilmiah seluruh genus padma raksasa diberi nama rafflesia (terambil dari nama Raffles), faktanya Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Raffles bukanlah penemu rafflesia. Bunga rafflesia terbesar di dunia yaitu Rafflesia arnoldii ditemukan pada tahun 1818 oleh seorang pemandu yang bekerja pada Dr. Joseph Arnold, seorang peneliti yang saat itu sedang melakukan penelitian di hutan Bengkulu.

Arnold yang bekerja untuk sebuah tim ekspedisi di bawah Raffles kemudian melaporkan temuan ini kepada atasannya. Nama ilmiah Rafflesia arnoldii merupakan gabungan dari nama Thomas Stamford Raffles sebagai pemimpin ekspedisi dan Josep Arnold sebagai penemu bunga.

Sejak saat itu nama Raffles menjadi atribut lestari yang melekat sebagai nama genus ilmiah dari tumbuhan patma raksasa yang hanya dapat dijumpai di kawasan hutan-hutan di Asia Tenggara.

7. Rafflesia Sudah Dapat Dikembangbiakan di luar Habitatnya
Hingga saat ini rafflesia belum dapat dibudidayakan dan dikembangkan di luar habitat alaminya. Meski demikian penelitian yang dilakukan oleh Sofi Mursidawati dan timnya dari LIPI telah berhasil menumbuhkan bunga Rafflesia patma di Kebun Raya Bogor. Teknik ini dikenal dengan nama grafting atau penyambungan akar inang rafflesia yaitu tetrastigma.

Sebelumnya para peneliti telah memperkirakan akar tumbuhan tetrastigma yang memiliki probabilitas terinfeksi biji parasit rafflesia, kemudian memotongnya dan menyambungkannya dengan tetrastigma lain yang telah ada di Kebun Raya Bogor. Dibutuhkan waktu hingga 6 tahun hingga R. patma tersebut berbunga pertama kalinya di Kebun Raya Bogor pada tahun 2010. Keberhasilan ini merupakan yang pertama di dunia.

Meskipun telah berhasil dibungakan di luar habitat alaminya, para peneliti melihat hilangnya habitat alami rafflesia akan berakibat musnahnya tumbuhan unik ini. Masih banyak misteri yang perlu dikaji tentang rafflesia.

Rafflesia patma yang berhasil dibungakan di Kebun Raya Bogor pada tahun 2012




Bunga Bangkai Raksasa atau Titan Arum

Amorphophallus titanum atau Titan Arum atau Suweg Raksasa merupakan tumbuhan dari suku talas-talasan (Araceae) endemik dari Sumatera, Indonesia, yang dikenal sebagai tumbuhan dengan perbungaan tak bercabang terbesar terbesar di dunia. Ditemukan pertama kali oleh Odoardo Beccari seorang ahli botani Italia pada tahun 1878, di Lembah Anai, Sumatera Barat. Jenis ini hanya tumbuh endemik di hutan hujan tropik Sumatera, Indonesia.

Tumbuhan ini umumnya hidup di hutan sekunder di mana keadaan tumbuhan dan sekitarnya tidak terlalu rapat dan gelap. Pada hutan-hutan (virgin forest) yang pertumbuhan pohon-pohonnya tinggi sekali dan keadaan sekitarnya gelap, Bunga Bangkai malah tidak dapat tumbuh. Tanah yang dikehendaki adalah tanah yang mempunyai aerasi baik, gembur penuh humus atau pada tanah yang berkapur. Tumbuhan dengan baik pada ketinggian 0-1.200 m dpl.

Siklus hidup Bunga Bangkai mengalami 2 fase, yaitu fase vegetatif (berdaun), fase generatif (berbunga).



Dua bunga bangkai, satu dalam fase berbunga sedangkan yang satunya dalam fase vegetatif di Sumatera. Foto diambil di awal abad 20

Pada fase vegetatif, di atas umbi akan muncul batang tunggal dan daun yang sekilas mirip dengan pohon pepaya. Tinggi pohonnya bisa mencapai 6 m. Setelah beberapa tahun, organ generatifnya akan layu dan umbinya Dorman. Apabila lingkungan mendukung, dan umbinya memenuhi syarat pohon ini akan digantikan dengan tumbuhnya bunga bangkai. Tumbuhnya bunga majemuk yang menggantikan pohon yang layu merupakan fase generatif tanaman ini.

Bunga baru bisa tumbuh bila umbinya memiliki berat minimal 4 kg. Bila cadangan makanan dalam umbi kurang atau belum mencapai berat 4 kg, maka pohon yang layu akan di gantikan oleh pohon baru.

Selain itu, bunga bangkai merupakan tumbuhan berumah satu dan protogini, dimana bunga betina reseptif terlebih dahulu, lalu diikuti masaknya bunga jantan, sebagai mekanisme untuk mencegah penyerbukan sendiri. Bau busuk yang dikeluarkan oleh bunga ini, seperti pada rafflesia, berfungsi untuk menarik kumbang dan lalat penyerbuk bagi bunganya. Setelah masa mekarnya (sekitar 7 hari) lewat, bunga bangkai akan layu. Setelah itu akan kembali melewati siklusnya, kembali ke fase vegetatif, dimana akan tumbuh pohon baru di atas umbi bekas bunga bangkai.

Apabila selama masa mekarnya terjadi pembuahan, maka akan terbentuk buah-buah berwarna merah dengan biji pada bagian bekas pangkal bunga. Biji-biji ini bisa ditanam menjadi pohon pada fase vegetatif. Biji-biji inilah yang sekarang dibudidayakan.

Bunga ini pernah ditanam di Kebun Raya Cibodas, meskipun letak geografis Kebun Raya Cibodas relatif lebih tinggi dibandingkan habitat alaminya, tumbuhan ini dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik.

Bunga Bangkai di Kebun Raya Cibodas mekar sempurna 7 Maret 2016 ini tingginya mencapai 3,735 meter.

Bunga bangkai sekarang telah tersebar di berbagai tempat di penjuru dunia, terutama dimiliki oleh kebun botani atau penangkar-penangkar spesialis. Di Amerika, bunga yang muncul seringkali diberi julukan atau nama tertentu dan selalu menarik perhatian banyak pengunjung. Uniknya banyak pengunjung datang untuk "menikmati bau"nya.



Baca Juga






Source: mongabay.com dan beberapa lainnya

Kamis, 17 Maret 2016

Asal Nama Yogyakarta dan Malioboro

Perdamaian Giyanti yang ditandatangani pada 22 Rabiulakhir 1680 dalam kalender Jawa, atau 12 Februari 1755, telah membagi kekuasaan Tanah Jawa menjadi Kasusunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Pembangunan bangunan inti Keraton Kasultanan Ngayogyakarta selesai pada 7 Oktober 1756, yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai hari jadi Kota Yogyakarta.



Bahasa Sansekerta telah berpengaruh dalam budaya dan sastra Jawa kuno. Sebuah petunjuk tentang asal nama Yogyakarta. Nama “Ngayogyakarta” rupanya berasal dari bahasa Sansekerta Ayodhya (bahasa Jawa: “Ngayodya”), demikian menurut Peter B.R. Carey yang mengungkapkan hal tersebut dalam tulisannya Jalan Maliabara ('Garland Bearing Street'): The Etymology and Historical Origins of a much Misunderstood Yogyakarta Street Name, yang terbit dalam jurnal  Archipel, Volume 27, 1984. Dari penjelasan Carey tersebut, sepertinya kita harus menghormati kearifan pendiri kota ini dengan tetap melafalkan "Yogya" meskipun nama kota ini kerap ditulis sebagai "Jogja".

Ayodhya, menurutnya, merupakan  kota dari Sang Rama, seorang  pahlawan India dalam wiracarita Ramayana. Demikian juga dengan nama Jalan “Maliabara”—atau yang biasa ditulis sebagai Malioboro—Carey berpendapat istilah itu diduga diadopsi juga dari bahasa Sansekerta “malyabhara”.

Istilah Sansekerta “malya” (untaian bunga), “malyakarma” (merawat untaian bunga), “malyabharin” (menyandang untaian bunga)  menurut Carey dapat ditemukan dalam kisah Jawa kuno. Ketiganya bisa dicari dalam kitab Ramayana abad ke-9, kitab Adiparwa dan Wirathaparwa abad ke-10, dan juga Parthawijaya abad ke-14. Sayangnya, ungkap Carey dalam jurnal tersebut, istilah tersebut tampaknya tidak ditemukan dalam naskah kontemporer yang berkait dengan pendirian Keraton Ngayogyakarta oleh Mangkubumi pada pertengahan abad ke-18.

Suasana Jalan Malioboro pada 1933. Lokasi foto ini sekitar depan Hotel Garuda sekarang.

Namun, pada kenyataannya Jalan Maliabara menjadi rajamarga yang berfungsi sebagai jalan raya seremonial yang membelah jantung kota, menautkan hubungan sakral nan filosofis antara Keraton dan Gunung Merapi. Carey mencoba menengok tradisi dalam kota India dengan jalan raya utama yang membentang dari Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan. Malioboro [Maliabara] membentang dari Selatan ke Utara, dan kemungkinan sebagai rajamarga atau jalan sang raja.

Sebagai jalan raya utama atau rajamarga,  segala upacara penyambutan tamu agung sejak gubernur lenderal di zaman Hindia Belanda sampai presiden di zaman sekarang selalu melintasi jalan bersejarah tersebut.

Penjelasan Carey dalam jurnal tersebut secara arif menegaskan kembali bahwa Maliabara bukan berasal dari nama “Marlborough” yang mengacu kepada sosok orang Inggris, John Churchill, First Duke of Marlborough (1650-1722).

Sebuah penanda kota di Jalan Malioboro yang akrab dijuluki warga sebagai "Ngejaman" lantaran terdapat jam listrik. Foto awal abad ke-20

Suasana Jalan Malioboro di sebelah ujung utara. Kini, sebelah kiri adalah Jalan Abu Bakar Ali. Foto sekitar awal abad ke-20

“Argumen yang pernah disampaikan beberapa pihak bahwa Keraton Yogyakarta mengganti nama jalan utama ibu kota mereka karena begitu terkesan dengan Inggris dan Letnan-Gubernur Thomas Stamford Raffles,” tulis Carey, “harus jelas ditolak sebagai alasan yang tidak masuk akal.”

Dari pemerian Carey tadi, tampaknya leluhur Kota Yogyakarta telah menahbiskan nama “Maliabara” dengan merujuk bahasa Sansekerta “malyabhara”. Mungkin kita bisa menafsirkan makna sastrawinya sebagai “seruas marga sang raja dengan semarak untaian bunga-bunga”—keindahan yang sempurna.


Baca Juga:





Sumber: NatGeo